IMG_4180
Haydar di pondok pesantrennya.

Suaranya begitu lancar dan jelas melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Remaja itu bernama Ali Haydar. Sungguh dari suaranya tak terdengar dia ternyata mengalami gangguan pendengaran dengan kategori sangat berat di kedua telinganya. Haydar mendengar dibantu dengan satu alat implan koklea di telinga kanan. Kini Haydar bahkan sudah hafal 13 juz Al-Quran.

Sudah pasti butuh sebuah kerja keras dan dispilin yang sangat tinggi untuk bisa menghafalkan Al-Quran. Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi hafidz, Haydar saat ini sekolah di pondok pesantren SMA Madrasah Aliyah Tahfidzul Qur’an As-Surkati di Salatiga, Jawa Tengah.

Selain mendalami ilmu agama dan ingin menjadi penghafal Al-Quran, Haydar juga terus rajin belajar untuk mewujudkan cita-citanya menjadi dokter. Ya, dia ingin jadi dokter yang juga seorang hafidz Quran. Dia ingin hidupnya bermanfaat dan bisa membantu banyak orang.

Di pondok pesantren, setiap hari Haydar harus menghafalkan satu lembar Al-Quran. Orang yang tak ada gangguan dengar saja tak semua bisa melakukannya karena hal itu tidaklah mudah. Tapi kakak dari Shahnaz dan Zahirah ini dengan dibantu alat implan mampu melakukannya.

Untuk menghafal Al-Quran, ada cara yang diajarkan di pondok pesantren. Haydar pun disiplin melakukannya. Dia menjelaskan bahwa dalam menghafalkan per surat atau per juz ada cara yang diterapkan.

“Pertama dibaca berulang-ulang dulu hingga lancar. Kemudian mulai menghafalkan,” kata Haydar yang gemar membaca buku ini. “Kalau suratnya panjang, bisa dibagi 2 dulu atau dibagi 3 dulu menghafalnya,” imbuhnya dengan suara sangat lancar saat bicara melalui telepon. Kami pun ngobrol di telpon tanpa ada hambatan sama sekali.

Haydar menjadi narasumber di berbagai acara. Pojok kiri atas di acara seminar nasional di Jogja, pojok kiri bawah di simposium THT di RSUP Dr Karyadi, Semarang. Foto kanan di Makassar.

Sungguh putra dari pasangan Ahmad Rifqy dan Nadiya ini telah menembus keterbatasannya. Tentu semua diraih dari perjuangan orang tuanya dengan didukung banyak pihak sejak awal mengajari mendengar dan bicara. Capaiannya saat ini membuat Haydar dan orang tuanya sering diundang menjadi narasumber diberbagai tempat untuk berbagi pengalaman atas perjuangannya.

Awal Perjalanan

Ali Haydar lahir pada 24 February 2001. Kata ‘Ali’ berarti tinggi dan ‘Haydar’ berarti pemberani. Nama adalah sebuah doa. Dengan nama itulah, orang tuanya berdoa agar anak lelakinya itu kelak ditinggikan & dimuliakan oleh Allah SWT dengan ilmu dunia dan akhiratnya. Mereka juga berharap Haydar bisa bermanfaat buat orang banyak serta menjadi pemberani dalam menghadapi masa depannya.

Ahmad dan Nadiya curiga bahwa anak pertama mereka itu ada gangguan dengar saat Haydar usia 8 bulan. Waktu itu mereka sedang liburan Idul Fitri bersama keluarga besar mereka di Batu, Malang, Jawa Timur di akhir tahun 2001.

Pada suatu malam, banyak suara bising dan bunyi petasan yang memekakkan telinga. “Saat itu beberapa sepupu Haydar yang sepantaran umurnya pada bangun dan menangis. Tapi Haydar tetap tidur pulas. Kami sebenarnya mulai curiga,” cerita ayah Haydar yang biasa dipanggil Eki ini.

Namun kecurigaan itu tak langsung ditindaklanjuti secara langsung oleh orang tua Haydar. Mereka baru melakukan tes sekitar 4 bulan setelah peristiwa itu, saat Haydar tepat umur satu tahun . Mereka berangkat dari Surabaya ke RSCM Jakarta untuk tes. Saat itu, mama Haydar sedang mengandung anak kedua.

Haydar saat ulang tahun pertamanya.

Hasilnya, kedua telinga Haydar ada gangguan pendengaran dan hanya bisa mendengar di ambang 110 desibel, atau setara suara deru pesawat terbang dari jarak 10 meter. Sungguh kabar yang berat buat pasangan muda ini.

“Kami syok banget dan sedih. Kami juga memikirkan bagaimana nasib adiknya yg akan lahir dalam waktu dekat saat itu,” kenang Nadiya. Namun mereka tak mau larut dalam kesedihan. Mereka menjadi kuat karena orang tua dan keluarga besar terus mendukung dan menguatkan. Mereka juga tak pernah malu dan terbuka akan keadaan Haydar.

Membeli ABD

“Kami hanya berpikir bagaimana masa depan Haydar bila kondisinya seperti itu,” kata Eki mengenang waktu belasan tahun yang lalu. Saat itu, keadaan keuangan mereka juga masih pas-pasan. Mereka pun berusaha membeli ABD. “Dengan kondisi finansial terbatas dan pengetahuan kami yg sangat terbatas tentang pendengaran, kami beli ABD berbentuk pocket seadanya. Itupun juga atas bantuan orangtua,” tambah alumni Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ini.

Haydar saat masih memakai alat bantu dengar (ABD).

Saat itu komunitas orang tua anak dengan gangguan dengar dan informasi seputarnya masih sangat terbatas. Media sosial pun belum ada. Meski demikian, mereka sekeluarga terus menstimulus Haydar seadanya samampu mereka dengan arahan terapis.

Keadaan Haydar terus memompa semangat Eki dan Nadiya untuk lebih giat bekerja mengumpulkan uang. Keduanya adalah wiraswastawan. Mereka pun mengencangkan ikat pinggang dan berkomitmen tidak beli apapun misalkan rumah atau mobil.

“Hati saya tak sampai buat beli macam-macam. Sebagai ayah, rasanya tugas saya belum selesai kalau kebutuhan anak saya belum terpenuhi ,” kata Eki menegaskan usahanya kala itu.

Puji syukur, keadaan keuangan mereka terus membaik. Saat Haydar hampir usia 3 tahun, mereka akhirnya bisa membeli ABD terbaik saat itu. Haydar pun juga mengikuti terapi Auditory Verbal Therapy (AVT) intensif.

Perkembangan Haydar ternyata sangat menggembirakan. Dia kemudian bisa menyebutkan benda-benda di rumah. “Kosakatanya terus berkembang hingga dia bisa merangkai kalimat dan mengungkapkan sesuatu pada lawan bicara,” kata papa Haydar sumringah.

Dengan menggunakan ABD, Haydar sudah bisa berkomunikasi. Tapi meski Haydar sudah mengenal banyak kosakata dan bisa bicara merangkai kalimat, ada harapan lebih pada orang tuanya. Saat itu memang masih ada keterbatasan pengucapan misalnya cadel atau ada kata-kata yang tidak jelas.

Mama Haydar menjelaskan bahwa sejak mengetahui Haydar ada gangguan dengar, mereka sudah membawa Haydar berobat ke pengobatan alternatif ke mana-mana. “Semua jalan sudah kami lalui. Haydar dipijat refleksi, minum teh China 3 kali sehari atau yang lain. Sudah banyak yang dicoba tapi tak ada hasil yang bagus,” kenang lulusan SMF Surabaya ini.

Babak Baru Implan Koklea

Haydar saat operasi implan koklea di Singapura.

Suatu hari, mereka mendapat informasi soal Cochlear Implant (CI) dari tim dokter THT Singapore General Hospital yang sedang berkunjung ke Surabaya. Saat itu operasi  implan koklea belum ada di Indonesia. “Mereka menjelaskan soal implan koklea dan mengatakan bahwa operasi tersebut bisa dilakukan di Singapura,” kata Eki.

Dari pertemuan dengan tim dokter Singapura itulah Eki dan Nadiya mantab melakukan implan pada Haydar. Mereka juga jadi lebih semangat mengumpulkan uang. “Saya terus berusaha dan ahamdulillah Allah SWT memberikan jalan,” kata lelaki yang suka rujak cingur ini penuh syukur.

Akhirnya Haydar bisa melakukan operasi implan koklea di Singapura ditangani Prof. Low pada tanggal 28 Februari 2005. Saat itu, usianya sekitar 4 tahun.

Untuk keperluan operasi, pemulihan, mapping dan terapi AVT awal, Haydar tinggal di Singapura selama 6 bulan dan hanya pulang sesekali. “Ayah dan ibu saya bersama ibu mertua bergantian menemani Haydar dan istri saya,” kata Eki.

“Saya sendiri harus kerja di Surabaya karena biaya yang dibutuhkan sangat banyak,” tambahnya. Meski begitu dia terus memantau perkembangan anak pertamanya itu dan sebulan sekali menengok.

Karena Haydar butuh pendampingan penuh untuk persiapan dan paska operasi, maka adiknya yaitu Shahnaz yang masih sangat kecil tidak dibawa. Shahnaz yang belum genap berumur 3 tahun tinggal di Surabaya bersama Eki dan kedua orang tua Eki dibantu baby sitter. Tentu bukan hal mudah bagi papa Haydar harus hidup berjauhan dan juga berat perjuangan mama Haydar terpisah Shahnaz.

Di tahun 2005, biaya terapi AVT di Singapura sungguh luar biasa. Mereka all out dan menjalaninya sekitar 6 bulan hingga akhirnya balik ke Surabaya. Pengalaman terapi di Singapura yang penuh perjuangan dan sangat mahal itu membuat mereka jadi sangat menghargai waktu terapi. “Kami selalu memanfaatkan sesi terapi sebaik-baiknya, entah dengan terapis maupun di rumah,” kata Eki.

Ternyata perkembangan Haydar sangat cepat paska implan. Karena dia sudah mengenal bahasa saat memakai ABD dan kosakatanya sudah banyak, dia tinggal menyesuaikan dengan implan barunya. “Haydar menyelesaikan program belajar terapi di Singapura selama 1,5 tahun dengan perkembangan luar biasa,” kata ayah Haydar penuh semangat.

Haydar saat SD. Dia tumbuh dengan ceria dan aktif seperti anak-anak lainnya.

Di rumah di Surabaya, orang tua Haydar juga terus menjalankan terapi dengan disiplin. Hal itu bukanlah hal mudah, tetapi bisa dilakukan asal ada kekompakan suami istri dan anggota keluarga serumah.

“Kami mengikuti apa yang sedang menjadi program terapi AVT sehingga terapi kami di rumah pun terprogram dengan baik,” ujar Eki. Mereka rutin membiasakan Haydar belajar 2 kali sehari dengan durasi per sesi 1 jam. Biasanya sesi terapi di rumah dilakukan rutin pagi dan sore. Selain itu mereka juga terus mengajari dengan menyisipkan selama berkegiatan sehari-hari.

Setelah pengenalan kosakata dan bahasa sudah tidak menjadi masalah buat Haydar, orangtuanya terus menjaga performa bicaranya. “Selanjutnya kami fokus membantu meningkatkan kualitas bicaranya agar lebih baik, misalkan artikulasi dan iramanya agar bisa alamiah,” tambah Eki .

Disiplin dalam melakukan terapi dirumah tidak mudah diterapkan. Papa Haydar bercerita bahwa mereka tinggal satu rumah bersama orangtuanya. “Dulu orangtua saya sering komplain dengan disiplin yg kami terapkan. Tapi kami meyakinkan mereka bahwa ini demi masa depan haydar,” katanya. “Alhamdulillah orangtua saya masih diberi kesempatan oleh Allah SWT melihat Haydar hingga seperti ini,” tambahnya dengan semangat.

Haydar foto bersama teman-temannya di pondok pesantren. 😊 Dia tetap menjalani masa remajanya dengan penuh suka cita.

Nyantri

Dengan kemampuan bicara yang baik, Haydar tak mengalami masalah dalam belajar di sekolahnya. Saat di sekolahan, syukur alhamdulillah Haydar bisa konsentrasi mendengarkan guru.

Menurut Eki, sebenarnya setelah lulus SD, Haydar berencana akan melanjutkan di sekolah yg sama utk SMP. Bahkan dia sudah diterima. “Tiba-tiba dua minggu sebelum UN, Haydar mendadak memutuskan untuk masuk pondok pesantren saat SMP. Mintanya di pondok Daarul Qur’an,” kata Eki.

Keluarga tentu mendukung pilihan Haydar. Akhirnya selepas SD, Haydar melanjutkan sekolah di pondok pesantren SMP Tahfidzul Qur’an “Daarul Qur’an” di Ungaran.

“Saya memang selalu memotivasi anak-anak saya bahwa pendidikan umum, pendidikan agama dan akhlak yang baik adalah bekal dari kami yang tidak akan habis walaupun kami sudah tidak bersama mereka lagi,” tegas Eki.

Haydar saat kelas 1 di SMP Tahfidzul Qur’an “Daarul Qur’an”, Ungaran.

Saat awal-awal hidup terpisah memang membuat sedih orang tua Haydar. Tapi semua tentu untuk bekal masa depan. “Tentu awalnya tak mudah berjauhan. Saat di usia seperti itu, Haydar harus jauh dari kami dan tinggal di pondok di ungaran,” kenang mama Haydar menambahkan.

Awal perjalanannya pun sempat tak mulus. Haydar sempat juga di bully dan orang tuanya pun menawarkan untuk kembali ke Surabaya. “Tapi Haydar menolak dan masih mau bertahan di pondok,” kata Eki. Anak remaja itu berusaha mengatasi masalah di depannya. “Subhanallah, tidak lama kemudian teman-teman yang pernah membully Haydar pun menjadi berteman baik dengan Haydar,” tambahnya.

Di pesantren, Haydar juga harus benar-benar sendiri menjaga dan merawat alat implannya. Namun hal ini menjadi titik balik dalam membentuk karakter pribadi Haydar untuk menjadi anak yang lebih mandiri, tangguh dan tentunya sabar. Keadaan dirumah tentu sangat berbeda dengan situasi pondok dengan segala aturannya.

Walaupun dalam usianya yg dini, Haydar dengan gembira mengikuti proses belajar dengan disiplin dan target yg tinggi dalam menjalaninya. “Haydar terbiasa belajar mulai kecil. Hingga dia tau bahwa tidak ada sesuatu yg bisa diraih tanpa kerja keras dan pengorbanan,” kata Eki. Karena memang sekolah di pondok pesantren adalah pilihan Haydar, maka dia menikmati semua prosesnya.

Haydar yang suka berenang tetap bisa mendengar dengan alat implannya. (Sumber dari video Haydar Story)

 

Ada momen yang tak bisa dilupakan Eki. Suatu hari saat Haydar lulus SD, dia minta anaknya menjawab spontan. Dia bertanya apa yang kurang pada diri Haydar. “Tidak ada,” kata Eki menirukan ucapan Haydar mantab dengan spontan. Sungguh hal itu membuat dirinya sebagai bapak menjadi bangga bahwa anaknya tangguh tak melihat kondisinya sebagai kekurangan. Memang, Haydar juga penuh percaya diri karena sejak kecil keluarga tak pernah malu atau menutupi keadaannya.

Eki dan Istrinya sangat bersyukur atas semua berkah dan karunia Allah SWT yang memberi kemudahan pada Haydar. “Kemajuan Haydar sangat cepat dalam belajar mendengar dan bicara paska implan. Itu berkah Allah SWT yang luar biasa,” kata Eki.

Haydar bersama kedua orang tua dan adik-adiknya saat jalan-jalan ke Dunia Fantasy, Jakarta

 

Sebagai wujud syukurnya, mereka sekeluarga pun selalu terbuka berbagi dan menyemangati orang tua dari anak dengan gangguan pendengaran lain. “Alhamdulillah saya bisa diberi kesempatan terus berbagi tanpa melihat latar belakang etnis, agama, atau status ekonomi orang lain,” kata sarjana teknik sipil ini.

Eki menegaskan bahwa keputusan implan Haydar adalah keputusan yang tepat yang mereka dua belas tahun lalu. “Apa yang dicapai Haydar saat ini membuktikan pilihan kami tidak salah,” katanya. “Mohon doa semoga Allah SWT meridhoi Haydar menjadi hafidz Al Quran dan juga dokter. Amiin,” pungkasnya.

IMG_4195
Haydar saat mengaji dalam video Haydar Story yang diproduksi Kasoem.

Haydar mempunyai pesan khusus buat semua yang mengalami gangguan pendengaran seperti dirinya.

“Jangan pernah menyerah untuk mencapai cita-citamu” katanya. “Impossible is nothing,” tambahnya penuh keyakinan.

Orang tua Haydar juga mempunyai catatan dan pesan buat orang tua lainnya:
1. Komitmen dan disiplin yang tinggi dari orangtua dalam menangani anak pasca implan masih sering di abaikan oleh orangtua. Oleh karena itu, orang tua harus terus menerapkan disiplin dalam proses belajar.
2. Kadang orang tua membuat garis ekspektasi yang rendah. Padahal kemampuan anak belum semua dieksplorasi dan masih bisa ditingkatkan. Ekspektasi yang rendah dari para orangtua tentunya akan berbanding lurus dengan apa yang akan dicapai oleh anak.
2. Cochlear implant dan program terapi AVT dengan penerapannya secara disiplin yang tinggi dirumah adalah suatu langkah yg harus dilalui anak. Tujuannya agar anak bisa mendengar dengan baik yang akan diikuti oleh kualitas bicara yang baik pula. Tentu hasil tidak akan jauh dari proses yang dilalui.
3. Hampir semua anak-anak yang mendapat implan koklea yang berhasil baik adalah anak dari orang tua yang sangat berperan aktif, terutama peran ibu nya. Implan saja tanpa proses habilitasi yang baik juga susah untuk mendapatkan hasil baik.
4. Cochlear implan adalah sebuah proses yg tidak alamiah dalam pendengaran untuk mendapatkan hasil yang alamiah. Semua hasil positif bisa diraih dengan kerja keras.

Silahkan lihat juga video Haydar.

Illian Deta Arta Sari (081282032922)
30 September 2017

Baca juga kisah lainnya:

1. Kisah Barraz, Semua Dijual Demi ABD

2. Kisah Azelia, Remaja Tuli Jago Pidato

3. Kisah Shalom, Umur 6 Tahun Sudah 12 Kali Operasi.

4. Kisah Udana, Anak yang Berbahasa Isyarat dan Terus Berkarya.

5. Kisah Aziza yang Ditulis di Australia Plus.

 

Iklan