Video ini diambil saat kami belum membawa Aziza ke dokter spesialis THT. Saat melihat video ini, apakah kita bisa menduga Aziza tidak mendengar sama sekali? Kami sekeluarga dan tetangga-tetangga tidak ada yang menyangka babar blas bahwa Aziza mengalami tuli kongenital atau tuli karena faktor-faktor saat kehamilan di dalam perut atau kelahiran.
Selama ini Aziza tampak sama seperti anak-anak lainnya, ceria penuh tawa dan aktif bermain. Setiap diajak bicara selalu menyimak, menatap mata, dan melakukan seperti yang diharapkan misalnya membuang sampah atau mengambil makan dan minum. Memang, ada satu hal yang mengganjal, yaitu ketika dipanggil dia tidak menengok. Namun, kami selalu berpikir positif dan berpikir bahwa dia anaknya cuek. Dia memang belum bisa bicara tapi kami pikir hanya terlambat bicara karena dia sebenarnya cerewet sudah ngoceh-ngoceh tidak jelas / bubbling.
Kami juga berpikir dia hanya telat bicara seperti kakaknya, Nararya Adityatama Supriyadi. Dulu Nararya juga telat bicara dan baru bisa bicara saat umur 3,5 tahun. Meski sebelumnya tidak bicara banyak, tiba-tiba saja Nararya bisa bicara panjang.
Memang kadang kami khawatir dengan keterlambatan bicara Aziza di umur 2 tahun, apalagi kalau melihat anak-anak tetangga yang seumurnya sudah bica ngoceh banyak. Namun semua kekhawatiran terhapus ketika melihat dia menari dan tertawa-tawa saat ada video di ipad, hp atau TV.
Ternyata kami baru tahu bahwa selama itu dia sama sekali tidak mendengarnya. Menurut dokter, dia lebih mengandalkan visualnya. Dia berjoget karena meniru apa yang selalu dilakukan kakak-kakaknya, dan dia mengingat semua kebiasaan atau gerak tubuh orang-orang disekelilingnya. Kami baru membawa ke dokter karena keterlambatan bicara di umur 2,5 tahun.
Pentingnya Tes Pendengaran Pada Bayi
Aziza saat lahir memang tidak menjalani tes skrining pendengaran OAE (Otoacoustic Emission). Sama halnya dengan kakak-kakaknya. Mereka semua tidak ada yang menjalani tes pendengaran saat lahir karena aku tidak tahu bahwa prosedur itu penting, tidak pernah terbersit anakku akan tuli karena di keluarga tidak ada riwayat itu dan rumah sakit swasta tempat aku melahirkan juga tidak menawarkan. Karena ketidaktahuanku, aku tidak bertanya juga. Semua kuanggap baik-baik saja. (Kalau boleh berandai-andai, aku berharap Aziza menjalani tes itu sejak lahir dan kami bisa menangani lebih dini.. Andai saja 😊)
Di luar negeri, tes ini merupakan tes standar untuk semua bayi lahir. Â Pada tahun 2000, Joint Committee on Infant Hearing melalui program NHS atau Newborn Hearing Screening sudah menetapkan tes OAE dan BERA sebagai tes wajib untuk skrining pendengaran pada bayi.
Sayangnya di Indonesia, mayoritas rumah sakit tidak menjalankannya. Karena bayi lahir di Indonesia mayoritas tidak dites pendengaran, maka tidak heran banyak kasus ketulian baru disadari saat anak sudah cukup besar karena telat bicara seperti Aziza. Apabila dideteksi lebih dini, tentu penanganannya bisa lebih awal di masa-masa emas mereka. Saat ini memang sudah mulai bertambah junlah rumah sakit yang melakukan skrining pendengaran sebagai satndar pemeriksaan kelahiran. Â Di Jakarta misalnya ada RSCM, RS Budi Waluyo. Beberapa rumah sakit swasta memiliki fasilitasnya tapi tes tersebut merupakan optional, atau berdasar permintaan pasien.
Tes pendengaran perlu dilakukan tidak hanya pada bayi beresiko saja tapi untuk semua bayi. Tujuannya agar gangguan pendengaran bisa terdeteksi sejak dini atau resiko ketulian bisa diantisipasi.
Bayi yang beresiko mengalami ketulian dan wajib di tes misalnya:
• bayi yang menjalani perawatan di Neonatus Intensice Care Unit (NICU) selama 48 jam atau lebih paska lahir.
• lahir prematur
• berat badan kurang (<1500 gram)
• mengalami sakit kuning / hiperbilirubin
• riwayat infeksi TORCHS (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, and Herpes Simplex Virus) selama masa kehamilan
• riwayat keluarga yang tuli
Semoga makin banyak yang terbuka tentang pentingnya skrining pendengaran saat bayi lahir. 😊
Tinggalkan Balasan