IMG_5055.JPGSaat awal mengetahui Aziza (2,5 th) tuli parah 20 Agustus 2016, bagiku dunia serasa runtuh. Semua terasa begitu berat karena aku tak pernah berinteraksi dengan orang yang memiliki pengalaman sama. Satu hal yg membuatku merasa berat adalah ingatanku tentang seorang gadis muda tetangga desa selisih 5 rumah yang bisu tuli yang terkungkung di dalam rumahnya. Sebut saja namanya mbak Melati.

Selama aku tinggal di desaku di Jogja sejak lahir 1980 hingga aku merantau kerja tahun 2003, aku hanya melihat mbak Melati 2 kali. Suatu hari, sekitar tahun 1985 ada seorang remaja menangis, berlari sambil berteriak dengan suara-suara tidak jelas di jalan depan rumahku. Orang kampung heboh. Anak-anak kecil pun ketakutan, termasuk aku yang saat itu masih TK.

Itulah pertama kalinya aku tahu tentang mbak Melati. Rupanya dia keluar rumah saat pintu terbuka dan bingung mau pulang. Aku baru tahu bahwa mbak Melati bisu dan selalu berada dalam rumah dengan keluarganya. Katanya dia juga tuli. Tapi aku nggak tahu pastinya. Tak ada kata sekolah buatnya. Faktor ekonomi dan minimnya pengetahuan keluarga penyebabnya. 😒 .

Aku melihatnya untuk yang kedua kalinya saat aku bersama anak-anak laki-laki tetangga, memanjat tembok halaman belakang rumahnya. Kami anak-anak yang penasaran, mengintip apa yang dilakukannya. Duh.. maafkan aku mbak..

Sebelum aku tahu Aziza tuli, aku nggak tahu bahwa tuli bisa karena parasit/ virus TORCH. Dulu kami berpikir apa yang terjadi pada mbak melati ya karena dia diciptakan begitu dan nggak ada yang bisa dilakukan.

Almarhum simbah putriku sayang sama mbak Melati. Sebelum simbah meninggal, hampir tiap hari semasa hidupnya, simbah mampir untuk memberikan makanan. Setiap habis mendapat pensiun, simbah juga membantu sedikit. Menurut simbah, mbak Melati bisa memasak sendiri dan membantu mencari uang ibunya dengan jadi buruh memasang kancing baju. Ibunya mengambil baju dari tetangga dan mbak Melati mengerjakan di rumah.

Ingatan tentang mbak Melati muncul saat awal-awal aku tahu Aziza kecilku tuli berat. Kalau tak ditangani dengan baik, dibantu ABD atau implan koklea penyandang tuna rungu akan kesulitan bicara dan bisa bisu. Biasanya memang bisu gandeng dengan tuli karena orang tak bisa bicara karena tak mendengar. Hal itu tak jadi masalah kalau orang tua atau anak dengan kesadaran memilih bahasa isyarat, atau Β baca bibir tanpa pakai ABD atau implan. Lagi-lagi ini soal pilihan. Saya hargai apapun pilihan orang tua. Mau ABD, mau implan, atau mau bahasa isyarat silahkan, tak perlu saling merasa benar dan mengecilkan pilihan lain.

Aku dulu takut Aziza seperti mbak Melati.. “Bagaimana Aziza besar nanti? Bekerja apa dia nanti? Bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain nantinya? Apakah ada lelaki baik yang menerima Aziza apa adanya?” πŸ˜ͺ Pertanyaan-pertanyaan bernada khawatir itu yang terus muncul saat aku masih di jurang kesedihan. Itu karena aku tak pernah berinteraksi dengan penyandang tuna rungu atau orang tuanya. Semua gelap buatku dulu.

Ya.. saat itu aku sangat takut membayangkan Aziza seperti mbak Melati. Dan ketakutan itu yang membuatku terus menerus menangis selama dua mingguan paska aku tau Azizaku tuna rungu. Puji syukur aku melihat begitu banyak harapan dan aku sadar tuli bukanlah akhir segalanya. 😊 Alhamdulillah banyak yang membantu hingga akhirnya Aziza bisa operasi implan koklea tanggal 9 Desember 2016.

Untung masa suram merasakan sedih bisa terlewati dengan cepat karena begitu banyak yang mendukungku. Sedihnya sungguh tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kalau bisa dibilang, sedihnya melebihi sedihku saat kehilangan papah yang meninggal tahun 1990.

Menerima ikhlas kenyataan Aziza, berusaha yang terbaik dan percaya pada rencana Allah SWT membuat semua terasa ringan. Justru makin hari, makin banyak mengambil hikmah dan bisa terus bersyukur.

Namun aku masih menyimpan ingatan tentang mbak Melati itu. Andai dia ditangani dengan baik, dibantu ABD, disekolahkan di SLB atau diajarkan bahasa isyarat, tentu hidupnya takkan kesepian terus terkungkung di dalam rumahnya. Bisakah membayangkan seumur hidup ada di dalam rumah? 😒 Mungkin saat ini dia sudah berumur 45 tahunan. Kalau ada kesempatan, nanti pengen mampir ke rumahnya.

Kisah sedih penyandang tuna rungu masih saja terus terjadi. Ada yang anaknya dianggap aib oleh keluarga besar, sehingga nggak boleh keluar rumah, dibuang di jalan, ditinggalkan di panti asuhan, atau tidak diperlakukan sama dengan anak-anak lain di kelurganya. Ada juga yang dikucilkan di kampung karena warga takut anaknya ketularan. 😭😭 Kenapaaaaaaaa? whyyyyyyyyyy? Tuna rungu bukanlah penyakit menular..

Anak-anak tuna rungu bukanlah aib yang harus terus diratapi ataupun dijauhi. Banyak faktor penyebabnya karena obat atau virus saat dikandungan, ibu sakit saat hamil, demam tinggi saat balita, lahir prematur, birilubbin tinggi setelah lahir, infeksi dan lainnya yang bisa terjadi pada anaknya siapa saja.

Anak-anak berkebutuhan khusus tidak butuh dikasihani, tapi butuh support, tidak didiskriminasi. Apabila diberi kesempatan yang sama dengan yang bisa mendengar, banyak yg bisa menorehkan prestasi. Sayangnya fasilitas pendukung dari pemerintah juga tidak merata. Banyak yang tinggal di kota kecil atau kabupaten yang sulit mendapat akses penanganan, terapi atau pendidikan.

Semoga tak ada lagi mbak Melati-melati yang lain. Semoga pemerintah memberi perhatian lebih karena menurut WHO, penderita gangguan pendengaran di Indonesia terbesar nomor 4 di dunia.

Illian Deta Arta Sari

081282032922