img_2934
Aziza Selalu Ceria (RSCM, 30 Nov 2016)

Kami tak pernah menyangka dikarunai anak tuli. Syok. Begitulah saat awal kami tahu. Kami tak pernah punya pengalaman berinteraksi dengan anak tuli ataupun orang tua yang anaknya tuli. Kami pun terus belajar, berusaha memberi akses pendengaran dan juga mencari tahu penyebabnya. Akhirnya kami tahu, penyebab gangguan pendengaran berat di sel-sel rambut koklea yang dialami anak ketiga kami, Aziza Sakhia Supriyadi (2,7 th) adalah virus CMV (Cytomegalovirus)

Aziza hanya bisa mendengar diatas level 110 db atau setara suara deru pesawat terbang dari dekat. Menurut dokter dan hasil laboratorium, penyebabnya adalah infeksi CMV  yang diklasifikasikan dalam keluarga virus Herpes. Aziza diduga kuat tertular aku saat dia masih di dalam kandungan.

Saya berusaha mencari tahu apa itu CMV setelah mendapat hasil lab. Ternyata prevelansi inveksi CMV di Indonesia sangat tinggi. Menurut RS Dr Oen Solo, prevalensi infeksi CMV di Indonesia tahun 2004 sebesar 87,8%. Saya sama sekali tidak menyangka aku kena. Bisa jadi anda juga pernah terinfeksi, tapi tidak tahu seperti saya dulu. Sementara itu  Radio Australia tahun 2016 menulis bahwa sekitar setengah dari jumlah penduduk Australia diperkirakan pernah terinveksi CMV. Sedangkan di Amerika, sekitar 60% dari populasinya pernah terpapar CMV.

Seperti halnya kebanyakan orang di Indonesia, saya hamil ya hamil aja, tanpa tes TORCH (Toxoplasma, Others (shypillis, Varichella zoster, parvovirus B-18), Rubella, CMV and Herpes Simplex / HPV) sebelum hamil. (Habis nikah, gituan ya pengen cepet punya anak nggak pakai tes ini itu. Kebanyakan begitu kan? hehe).

Saat hamil anak pertama, Kumara tahun 2006 dan hamil anak kedua, Nararya, tahun 2008, dokter juga nggak nyuruh tes TORCH. Dokterku cuma bertanya apakah saya punya kucing di rumah. Saya jawab tidak ada. Selanjutnya ditanya apakah ada keluarga difabel? Saya jawab juga tidak ada. “Bismillah semua baik-baik saja”, kata dokterku yang selalu positive thinking yang tidak menyuruh tes itu.

Pas hamil Aziza, dokter di rumah sakit yang berbeda pernah bertanya apakah saya ada riwayat infeksi TORCH? Saya jawab belum pernah tes. Ditanya lagi, apakah kakak-kakaknya normal, saya jawab iya semua tidak ada gangguan apapun. Akhrnya saya nggak dites TORCH juga saat trisemester pertama kehamilan. “Bismillah.. nggak perlu tes kalau gitu. InsyaAllah bayinya sehat seperti kakak-kakaknya,” kira-kira begitu ucapan dokter sambil senyum.

Demikianlah dua dokter yang berbeda dari dua rumah sakit melihat tes TORCH. Semuanya berpikir positive tidak akan terjadi apa-apa. Setelah saat ini Aziza mendapat hasil laboratorium, saya juga tidak tahu apakah saya baru kena TORCH pada saat hamil Aziza, ataukah sebelum hamil Kumara dan Nararya tetapi virus baru aktif disaat saya hamil Aziza.

Soal kapan saya kena CMV saya sudah nggak mikir dan saya juga nggak menyalahkan dokter. Saya anggap Aziza tuna rungu karena jalan Tuhan.. Bahkan saya merasa ada banyak hikmah karena Aziza mengubah hidupku.

img_2197
Aziza takut sama Ondel-ondel Betawi 🙂

Saya hanya ingin berbagi buat siapa saja karena sebenarnya resiko fatal pada bayi akibat infeksi TORCH bisa diantisipasi sejak awal. Bila diketahui ada infeksi TORCH sebelum hamil, dan dikhawatirkan berakibat buruk maka hamil sebaiknya ditunda beberapa bulan sambil diatasi masalahnya (tergantung virus atau parasitnya). Pengobatan CMV sebelum hamil bisa dilakukan dengan pemberian obat gancyclovir dalam waktu tertentu.

Bila TORCH diketahui aktif saat sudah hamil, setidaknya janin akan diawasi ketat atau bisa diberikan obat agar virusnya tidak begitu aktif. Selain itu screening saat lahir bisa dilakukan lebih dini misalnya untuk mata, jantung atau telinga yang sering diserang.

Dulu Aziza tidak mendapatkan skrining pendengaran atau tes Oto Acoustic Emissions (OAE) saat lahir, karena saya juga tidak tahu pentingnya tes itu. Kalau tahu ada infeksi TORCH saat hamil, tentu bisa meminta tes OAE saat Aziza bayi. Andai.. (Boleh ya berandai-andai.. hehe 🙂

Seharusnya tes OAE jadi standar tes bayi saat lahir. Beberapa RS di Indonesia sudah mulai melakukan tes OAE, tapi mayoritas tidak. Bukan hanya untuk bayi beresiko aja, tapi tes OAE diperlukan untuk semua bayi untuk melihat ada atau tidak gangguan pada pendengaran.

Kelahiran Aziza dulu dianggap baik-baik saja oleh rumah sakit. Ketuliannya baru diketahui saat dia umur 2 tahun 5 bulan (lumayan di batas hampir telat) karena sebelumnya kami tidak berpikir ada masalah apapun. Kami pikir, dia hanya telat bicara saja seperti kakak keduanya yang dulu telat bicara tapi sekarang cerewet..

Hasil tes TORCH aziza dari sampel darah menyatakan saat ini semua normal. Tes untuk mengetahui TORCH ada dua macam yaitu Igg dan Igm. Bahasa sederhananya, Igg untuk mengetahui riwayat inveksi di masa lalu, dan Igm untuk melihat kondisi saat ini. Hasil Igm Aziza normal semua, artinya tidak ada virus atau parasit yang aktif ditubuh Aziza saat ini. Tapi, hasil tes CMV Igg-nya sangat tinggi yatu 337,3 u/ml. sementara ambang nilai normalnya <0,5.

img_2965

CMV adalah virus yang sangat umum dan dapat menginveksi siapa saja, kapan saja, di mana saja. Untuk anak-anak dan orang dewasa sehat, inveksi CMV tidak telihat gejalanya seperti masuk angin biasa sehingga tidak terdiagnosa langsung. Pernah ngrasa masuk angin kan? Pegel, linu, badan lelah, nggregesi? Siapa yang tahu itu inveksi TORCH apa bukan? Buat saya, kalau ngrasa itu ya kerokan. Hehe

Virus ini juga tidak berakibat fatal untuk orang dengan daya tahan tubuh baik kecuali pada mereka yang beresiko tinggi seperti ibu hamil, penderita kanker dan penderita HIV/ADS. Gangguannya bisa ke organ dalam tubuh. Seorang ibu yang hamil dapat menularkan virus pada janinnya dan bisa berakibat parah.

Saat membaca efek virus CMV pada janin, saya bersyukur sekali Aziza ‘hanya’ tuli. “Saya nggak boleh mengeluh”, kata saya pada diri sendiri terus berusaha mensyukuri keadaan. Efek parah lainnya adalah serangan pada otak yang menyebabkan keterbelakangan mental, hydrochepalus, microchepalus, gangguan mata atau kebutaan, cerebal palsy (kelumpuhan otak besar), ketulian atau kematian janin.

Saya nggak bisa membayangkan betapa beratnya kalau harus menghadapi itu semua. Di sisi lain, saya sering bertemu anak-anak dan orangtua dengan sakit bawaan itu yang tetap semangat berobat di RSCM. Sungguh tak pantas saya mengeluh. Semoga semua yang mendapat amanah dari Tuhan, tetap terus semangat. Sekali lagi saya tulis tidak ada yang namanya produk gagal oleh Tuhan 🙂

Penyebaran virus CMV ini dari orang ke orang melalui cairan tubuh, seperti air mata, melalui tranfusi darah, transplantasi organ, air liur, urin, cairan semen, cairan vagina atau melalui hubungan seksual, dan pemberian ASI. Bahkan, CMV dapat menular lewat keringat misalnya melalui salaman dgn org lain yg virusnya sedang aktif. Hiks..

Untuk kasus TORCH yang lain, penularannya selain lewat cairan juga bisa macam-macam misalnya lewat makanan seperti sayuran dan buah yang dicuci kurang bersih, makan daging setengah matang dari hewan yang terinveksi, atau makan makanan yang tercemar parasit toxoplasma dari feces kucing.

Kembali ke CMV, sekali kita terinfeksi CMV, jejak virus akan tinggal seumur hidup dan tubuh sudah membentuk antibodi. Virus itu akan bersiklus antara periode tidur (dormant) dan reaktivasi. Sayangnya, tidak ada pengobatan untuk membunuh CMV seperti juga pada virus pada umumnya. Jika pengobatan dilakukan , biasanya dalam bentuk obat antivirus untuk memperlambat reproduksi virusnya saja.

Ada beberapa hal sederhana yang bisa dilakukan untuk mencegah CMV dan juga TORCH lain, khususnya buat ibu hamil. Yang bisa dilakukan misalnya rajin cuci tangan dengan sabun setelah tak sengaja bersentuhan dengan cairan tubuh orang lain (misal salaman), hindari makan dan minum dalam piring dan gelas yang sama dengan orang lain, cuci tangan sesudah buang air di toilet apalagi toilet umum. Jadi, sering-seringlah cuci tangan.

Buat yang mau program hamil, apalagi pernah punya riwayat TORCH atau bersentuhan dengan binatang, sebaiknya tes TORCH dulu agar sakit bawaan bayi bisa diantisipasi. Memang biayanya cukup mahal. Hiks.. Di RS Swasta, biayanya sekitar Rp 2,5 juta untuk tes lengkap Igm dan Igg. Kalau di RS pemerintah sekitar 1,5 juta. Tapi karena ada kasus yang dialami Aziza, tes untuk Aziza gratis ditanggung BPJS.

Pada umumnya, bila ada hasil tes Igm dan Igg positif atau salah satu positif (tergantung jenis virusnya atau parasit Toxo) dan membahayakan janin, sebaiknya tunda kehamilan.Kalau sudah terlanjur hamil dan ada infeksi TORCH, perlu ada pengawasan ketat selama kehamilan.

Meski tes ini setidaknya bisa mengantisipasi sejak akan hamil atau di awal hamil, lagi-lagi belum tentu jaminan anak lahir sehat tak kurang apapun. Siapa yang tahu gimana proses membuat bayi di dalam perut? (Ibaratnya kalau kita membuat kue, kita bisa melihat takaran adonannya dan mengawasi saat dipanggang di oven biar nggak gosong. Hehe. Lah kalau hamil? ) Ibu hamil tentu pasrah sepasrah-pasrahnya, gak tau apa yang terjadi dalam perut. Di pertengahan hamil, saat ibu sakit juga bisa berakibat buruk ke janin.

Soal tes ini, ada pro dan kontra, ada dokter yang menganjurkan dan ada dokter yang tidak. Tapi buatku, mencegah lebih baik daripada mengobati kelainan bawaan bayi yang harus menguras tenaga, waktu, uang dan menguras emosi sekali. Pentingnya tes TORCH misalnya bisa dilihat di sini

Saya hanya nulis soal CMV, belum nulis soal virus yang lain Toxoplasma, Rubella, Herpes Simplex yang penularannya pun ada yang sama, namun ada yang beda dengan CMV. Monggo disearching dulu buat yang mau hamil atau yang hamil khususnya trisemester pertama kehamilan.

(illian deta arta sari, 081282032922)

Baca artikel lain:

Artikel ttg CMV (in english): Cytomegalovirus

Artikel di The Asian Parents terkait CMV: Waspadai Cytomegalovirus Lebih Bahaya dari Zika