image
Aziza tes Berra dan ASSR pertama kali di RS SS Medika Salemba, 20 Agustus 2016

Seluruh tubuh langsung lemas saat dokter mengatakan pendengaran Aziza bermasalah pada 20 Agustus 2016. Air mata pun tak henti-hentinya deras mengalir saat dokter Suzanna di RS SS Medika menjelaskan panjang lebar soal Aziza. Rasanya sedih sekali, hancur, dan bayangan ketakutan akan masa depan anak wedhok ini bercampur aduk di hati.”Oalah ndhuuuuuuuk…. kasian banget kamu, umur 9 bulan ditinggal sekolah dan harus putus minum ASI terus sekarang kamu nggak bisa dengar.”

Rasanya syok banget mengetahui hasil tes Berra dan ASSR (Auditory Steady State Response) Aziza. Tes pertama Aziza ini menyatakan telinga kirinya hanya bisa menerima suara di atas level 90 desibel dan telinga kirinya tidak merespon sama sekali. Dari awal, dokter mengatakan bahwa kondisi pendengaran Aziza parah. Dia hanya bisa mendengar selevel suara deru pesawat terbang dari dekat. Artinya selama ini dia tidak pernah mendengar sedikitpun suara-suara orang yang sayang sama dia.

Untuk bisa mendengar, pilihannya ada dua yaitu menggunakan alat bantu dengar (ABD) yang super atau implan koklea. Aku bertanya pada dokter, sesuai kondisi Aziza, mana yang lebih pas. Dokterpun menyarankan implan untuk lebih optimal. Duh, membayangkan kata “operasi” saja sudah mual apalagi operasi di kepala. Duh Gustiiii…

Sepanjang jalan dari rumah sakit, aku dan suami hanya terdiam di mobil meski air mataku terus meleleh. Kutahan air mata itu, tapi tetap tidak bisa. Sementara, Aziza tetap saja ceria bermain dengan kakak-kakaknya di dalam mobil. Dia tidak tahu apa yang dialaminya. Baginya, semua baik-baik saja. Melihat senyumnya, rasanya trenyuh.

Sulit rasanya menerima kenyataan tentang kondisi Aziza. “Masak siiiiiiiih anakku tuli? Nggak mungkiiiiiin.. Kenapa dia harus mengalaminya?,” kataku terus menerus pada diri sendiri menolak kenyataan. Gelap. Mungkin itu yang kurasakan pada awalnya karena selama hidupku aku nggak pernah punya teman atau saudara yang tidak bisa mendengar. Aku juga tidak ada kenalan yang anaknya mengalami seperti aziza. Aku buta, nggak tahu sama sekali nggak tahu soal soal kerusakan sel-sel rambut koklea.

Selama dua minggu pertama, aku masih terus menangis. Belum bisa ikhlas menerima kenyataan. Bahkan tanpa sebab apapun, air mata bisa keluar begitu saja sampai mata ini bengkak-bengkak. Apalagi kalau ada yang nanya soal Aziza, pasti deh banjir air mata. Sepertinya, inilah kesedihan yang paling dalam yang pernah kurasakan dalam hidupku. Suami tidak pernah menangis, tapi aku tahu hatinya teriris. Dia berusaha tegar sambil ngeyem-yemi emaknya Aziza ini.

Sambil terus mengatasi sedih, aku berusaha mencari tahu sebanyak-banyaknya soal hearing loss. Kami sadar, biayanya akan besar sekali dan perjalanannya akan panjang. Aku pun berusaha membuat membuat kartu BPJS buat Aziza karena saat kutinggal ke Melbourne 12 Januari 2015, dia belum sempat kubuatkan.

Selama sebulan sambil menunggu proses tes ulang Berra dan ASSR di RSCM, aku terus mencari tahu soal alat bantu dengar (ABD) dan koklea implan. Tiga perusahaan terbesar penyedia koklea implan dan alat bantu dengar kutemui serta kudengar satu-satu penjelasannya. Mereka adalah Med El company dari Austria, Cochlear limited dari Australia yang alatnya didistibusikan oleh Kasoem dan Advance Bionic dari Amerika yang dipasarkan lewat PT ABDI.

Selain sedih, bingung juga melanda saat awal tahu karena aku dan suami tidak pernah berinteraksi dengan orang-orang yang punya pengalaman sama. Satu hal yang kulakukan saat mengatasi rasa yang campur aduk itu adalah posting kondisi Aziza di facebook sesaat sesudah tes pertama. Awalnya aku tidak menjelaskan soal ketulian Aziza. Rasanya berat langsung mengatakan itu. Namun selanjutkan aku jelaskan apa yang terjadi karena aku tidak ingin merahasiakan kondisinya atau menutupinya seolah ini adalah aib. Tidak. Aziza tidak ingin lahir seperti itu.

Aku juga percaya bahwa tidak ada yang namanya produk gagal dari Allah SWT. (Masak sih iya Tuhan gagal membuat umatnya, memangnya emak-emak yang kadang kelupaan naruh resep saat buat kue trus kuenya bantat alias nggak mekar? hehe..). Aku nggak ingin terpuruk dalam sedih dan tetap berusaha yang terbaik buat Aziza. Aku juga ingin berbagi agar orang lain tidak mengalaminya.

Ternyata dari keterbukaan di fb itulah, dukungan teman-teman terus mengalir dan makin menguatkan aku. Salah satu dukungan yang kuingat adalah ucapan mas Denny Indrayana yang kini tinggal di Melbourne. Dia bilang “Kadang Tuhan punya cara yang unik untuk menyatakan cintanya pada umatnya”.

Seminggu setelah postingan di fb, mas Marco Kusumawijaya, teman lama yang juga seorang arsitek di Jakarta langsung mengenalkanku pada bu Gouri Mirpuri, istri mantan duta besar Singapura untuk Indonesia. Bu Gouri mempunyai anak seperti Aziza dan dia lah yang pertama kali memberikan petunjuk secara terperinci harus bagaimana. “You have to decide fast, move quickly,” tulis bu Goury di emailnya. Kemudian bu Gouri megenalkan pada bu Sansan yang aktif di Indonesia mendengar dan sebulan kemudian aku bisa bertemu langsung dengannya di Bintaro.

image
Mei Lin saat diperiksa koklea implannya oleh Dr Ted Meyer

Selain itu ada juga mbak Natalia Soebagjo, salah seorang board Transparency International Indonesia yang mengenalkan pada temannya, Pak James Kallman. James adalah seorang warna negara Amerika yang beristrikan orang Indonesia, ibu Dewi.  Putri mereka, Mei Lin terlahir dengan kondisinya sama seperti Aziza. James pun langsung menelpon aku setelah mbak natalia mengenalkan kewat whatsap.

James bercerita, dulu tahun 2000, anaknya terdeteksi awal di usia 6 bulan dan menjalani implan yang pertama kali di umur 1 tahun. Selanjutnya, implan keduanya di umur 2 tahun. Saat ini, Mei Lin bisa berkomunikasi seperti orang lain dan tak ada yang bisa menduga dia mengalami hearing loss. Mei lin menulis skenario film Segi 3 Hati tentang bullying dan saat James menelpon, dia sedang menjalani summer school di Harvard University. Senang rasanya mendengar cerita positif tenang Mei Lin. Ada harapan, kataku pada diriku sendiri. Bahkan yang lahir dengan telinga normal pun tidak semuanya bisa ke Harvard. Yang penting adalah anak tuna rungu mempunyai kesempatan yang sama dengan mereka yang tak ada gangguan pendengaran.

Dengan sabar, Pak James yang belum pernah bertemu aku (dan baru dikenalkan juga), mendengarkan curhatanku yang sambil nangis dan menjelaskan semua pertanyaanku. Selama sejam pak James menelpon dan rasanya aku sangat lega. Untuk pertama kalinya berbicara langsung dengan sesama orang tua dengan masalah sama. “Don’t waste your time,” pesannya agar aku tidak larut dalam sedih karena waktu sangat berharga untuk mengejar ketertinggalan Aziza.

Selanjutnya, beberapa teman menghubungi dan bercerita tentang anak-anak mereka. Aku tidak menduga sama sekali bahwa beberapa temanku di FB anaknya sama seperti Aziza. Mereka memberikan support, sharing pengalamannya dan memberikan informasi penanganan medis maupun alternatif.

Salah satu orang yang juga terus mendukung adalah mbak Anita Fatmawati, istri mas Very Iskandar, kakak kelas di Fakultas Hukum UGM dulu. Disaat emosi masih naik turun, mbak Anita lah yang terus menguatkan, memberi banyak informasi dan nggak bosen menyapa lewat whatsapp. Putri pertamanya, Azel juga mengalami hal sama seperti Aziza, dan kini sudah kelas 6 SD. Mbak Anita selalu ada disaat aku ngedrop, atau bingung saking banyaknya saran atau informasi. Jujur saja, begitu banyak informasi tentang pengobatan alternatif ke sana atau ke situ, sempat membuat galau. Satu tantangan lainnya adalah meyakinkan keluarga bahwa aku dan suami memilih jalur medis untuk Aziza.

Sesudah aku membuka kondisi Aziza, beberapa orang tua yang baru tahu anaknya mengalami seperti Aziza juga menghubungi. Aku yang lagi sedih tentu butuh didukung, tapi ternyata ada yang lain yang sedang sedih yang perlu tempat cerita, dan perlu dukunganku ( yang sebenarmya juga lagi sedih.. hehe). Hidup sungguh unik, memberikan dukungan pada orang lain disaat aku sedang sedih ternyata justru makin menguatkan diri dan menyadarkanku untuk tetap senyum dan tidak mengeluh.

image
Aziza saat tes kedua di RSCM tanggal 19 September 2016

Selama sebulan, kerjaanku dan suami hanyalah mencari info lewat internet dan bertemu orang-orang dengan pengalaman sama untuk tahu apa yang terjadi pada Aziza dan apa yang harus kulakukan. Akhirnya kami bisa melakukan tes keseluruhan ulang di RSCM tanggal 19 September 2016. Hasilnya agak beda dengan hasil tes RS SS Medika. Kondisi Aziza lebih parah. Di RSCM, kedua telinga Aziza hanya bisa mendengar diatas level 110 desibel. Pupus harapan kami bahwa ada kesalahan pada tes pertama.

Kami sedih untuk yang kedua kalinya, tapi kami jauh lebih siap menghadapinya ketimbang saat tahu hasil tes pertama. Tak ada lagi air mata. Mungkin kami mulai menerima kenyataan Aziza.

Dari RSCM, kami pun langsung ke Kasoem Hearing Center untuk koordinasi pembelian alat cochlear impant. Kami pun langsung tandatangan kontrak pembelian alat implan meski duit belum kepegang. Mungkin bisa disebut modal nekat. “Nanti kita jual yang bisa dijual sama hutang bank. Bismillah,” kata suami menenangkan. Babak baru pun di mulai, menyiapan uang dan persiapan operasi implant. Banyak tangan  yang membantu yang akan kutulis di tulisan lain berjudul Hutang Pada Kehidupan.